Senin, 14 Mei 2012

Event : Waisak 2556 BE @ Borobudur

purnama Waisak
Lampion terakhir terbang sekelebat membelah angkasa. Bergabung bersama 999 lampion lain yang telah mendahului mengisi langit malam yang diterangi purnama. Teriring doa, cita-cita dan harapan dari kami semua yang hadir di pelataran candi megah ini.

Candi Borobudur Saat Ini
17 tahun sudah terlewati semenjak terakhir kali melihat kemegahan candi Borobudur yang merupakan candi Buddha terbesar di dunia dengan ukuran 123x123 m dan tinggi 34,5 m. Banyak yang berubah, atau tepatnya ingatan yang terdistorsi tentang imaji candi berumur lebih dari 1200 tahun ini. Saat ini candi Borobudur telah menjelma sebagai sebuah objek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan. Kawasan yang tertata rapi dengan berbagai kelengkapan seperti musium, visitor center dan bahkan hotel dengan fasilitas lengkap di dalam kompleks candi memperlihatkan kesungguhan pemerintah (daerah apa pusat ya?) untuk serius mengelola situs yang telah dinobatkan oleh UNESCO sebagai World Heritage pada tahun 1991. Akan tetapi kedatangan kali ini bukan sekedar menikmati kemegahannya saja, tetapi juga untuk menyaksikan perayaan Waisak 2556 BE yang merupakan hari suci agama Buddha yang dipusatkan secara Nasional di candi Borobudur ini.

Borobudur temple
candi Borobudur nan megah
Buddha statue
arca sang Buddha

Nonton Waisak di Borobudur
Kontras dengan jumlah pemeluk agama Buddha di Indonesia yang merupakan minoritas dengan jumlah tidak sampai 1% dari total 200 juta penduduk Indonesia, minat para wisatawan untuk menyaksikan puncak perayaan agama Buddha ini terbilang cukup besar. Hal ini terlihat dari sulitnya mencari kamar hotel yang kosong di seputaran kompleks candi. Lupakan untuk mendapatkan kamar di hotel Manohara (ga ada hubungannya sama artis heboh yang sempet jadi istri pangeran negeri seberang) yang terdapat di dalam kompleks candi karena full booked oleh panitia Waisak dari Walubi (ya iyalah...). Dipastikan akan ada ribuan umat Buddha yang mengikuti prosesi Tri Suci Waisak 2556 BE pada hari Minggu yang akan dimulai dari candi Mendut kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati candi Pawon menuju candi Borobudur.

Berangkat dari Jakarta menuju Magelang, beberapa kali kami bertemu dengan bis-bis berisi rombongan umat Buddha pada perhentian-perhentian umum seperti rumah makan maupun pom bensin. Dari mana kami tau kalau mereka umat Buddha? Karena mereka mengenakan baju putih bertuliskan Walubi yang merupakan perwakilan dari majelis-majelis agama Buddha di Indonesia. Dan ada beberapa rombongan yang didampingi juga oleh biksu lengkap dengan bajunya yang unik dan kepala yang plontos yang langsung mengingatkan pada film kartun masa kecil dulu Ikyu-San. Ternyata kami pun bertemu kembali dengan rombongan ini ketika check in keesokan paginya di penginapan Pondok Tingal yang ternyata juga sudah dipenuhi umat Buddha. Kelihatannya penginapan ini termasuk langganan baik bagi yang merayakan Waisak maupun sekedar pelancong. Mungkin karena fasilitasnya yang cukup memadai dan letaknya yang masih termasuk dekat dengan candi Borobudur.

Acara hari ini adalah santai sejenak untuk mengistirahatkan badan yang lumayan penat setelah duduk dalam mobil selama lebih dari 12 jam. Sempat main ke pasar untuk sarapan soto ayam, rasanya standar sih tapi lumayan anget-anget buat ganjel perut. Sore harinya berangkat ke Magelang yang berjarak sekitar 30 menit naik mobil karena ada teman yang akan gabung di acara Waisak ini. Berhubung sudah mulai sore dan menurut beliau yang punya Magelang ini kalau malam hari tidak ada makan yang cukup representatif maka diputuskan untuk melaju ke arah Yogyakarta tepatnya rumah makan Jejamuran. Rumah makan ini cukup unik dengan menghadirkan menu-menu dengan bahan dasar berbagai jamur. Secara pribadi saya tidak memiliki hubungan pribadi dengan jamur-jamur jadi kurang begitu mengenal macam-macam jamur tersebut. Kecuali mungkin dengan jamur yang biasa tumbuh di kulit yang menjadi musuh utama karena kulit saya yang gelap dan eksotis. Setelah selesai dengan sate jamur, sop jamur, cah jamur asam manis, rendang jamur, dadar jamur, crispy jamur, lumpia jamur dan ayam goreng(?) akhirnya terpilihlah rendang jamur sebagai juara dan kami pun pulang dengan perut buncit dan mata ngantuk akibat kekenyangan. Tak lupa mampir melewati candi Mendut untuk sekedar survei dalam perjalanan pulang.

Borobudur in  mist
Borobudur diantara kabut pagi




climb up for ceremony

climb up for ceremony
meditate on prime stupa
meditasi di stupa utama
umberella, main stage & Borobudur
panggung utama berlatar candi Borobudur

Detik-Detik Waisak di Candi Borobudur
Jam masih menujukkan pukul 04.30 ketika kami mulai bergerak meninggalkan penginapan. Ke mana lagi kalau bukan ke Punthuk Setumbu untuk menyaksikan matahari terbit dengan latar candi Borobudur di kejauhan. Sebenernya sih ada yang lebih seru yaitu ikut paket Borobudur Sunrise tapi ya bayar Rp 230.000,- per orang. Berhubung duit di kantong sisanya ga sampai segitu jadi pilih alternatifnya saja. Setelah sekitar 15 menit melalui jalan berliku akhirnya sampai di titik pendakian. Dan ternyata kami bukanlah yang pertama karena sudah banyak mobil dan motor lain yang sudah mendahului. Rupanya spot ini merupakan spot favorit terbukti dari ramainya suasana di bawah sini, apalagi di atas sana ya?

Perjalanan dimulai dengan track berupa jalan setapak semen dan tak lama kemudian menjadi susunan batu. Kemiringan track cukup terjal dan licin ditambah suasana yang masih gelap gulita menjadikan perjalanan lumayan menantang. Pada bagian akhir track sebelum spot adalah yang terberat dimana jalan berupa tanah dengan kemiringan cukup tajam. Kira-kira 20 menit saja jalan santai kita sudah sampai di spot Punthuk Stumbu. Dan benar saja, spot sudah penuh dengan para fotografer dengan gear lengkap tripod dan lensa tele besar-besar. Kira-kira ada sekitar 50an fotografer yang sudah berbaris ambil posisi menunggu sunrise di dataran seluas tak lebih dari 15x5m tersebut. Beberapa teman langsung tidak bersemangat melihat situasi ini dan bergabung dengan para simpatisan yang berdiri dengan posisi lebih ke belakang sambil duduk-duduk manis sambil membayangkan bawa thermos dan pop mie sekardus trus buka warung deh. Pasti laku keras! Hahaha. Tripod dikeluarkan, lensa tele dipasang, tapi tampaknya awan kurang bersahabat dan masih saja menutupi munculnya matahari. Ambil beberapa jepret, pindah posisi karena di depan saya ada fotografer serius (...dari tampangnya) yang kepalanya ga bisa diam ke sana kemari dan selalu bocor masuk ke frame. Di posisi barupun tampaknya masih kurang beruntung. Awan tetap menghalangi sang surya untuk muncul. Jadi sudah pasti harus kembali lagi ke sini. Mungkin malah perlu camping supaya bisa dapat spot paling depan hehehe. Tapi pastinya sih waktunya gak mau pas Waisak dan kalau bisa malah hari biasa bukan weekend.

Perjalanan turun lebih mudah karena sudah terang, walaupun sempat terpeleset beberapa kali. Dan kamipun ngacir balik ke penginapan sambil mampir di warung untuk sarapan dalam perjalanan pulang. Sambil sarapan mulai menyusun strategi untuk hari ini. Berhubung sudah survei malam sebelumnya dan menimbang-nimbang sempitnya lokasi, maka dipilih untuk melewatkan prosesi detik-detik Waisak yang akan dimulai di candi Mendut dan memilih untuk berada di candi Borobudur saja dengan pertimbangan akan lebih sepi dan bisa puas hunting foto. Terbukti perkiraan yang salah. Walaupun sudah berangkat pagi, ternyata pengunjung sudah membludak walaupun sudah dikenakan tiket masuk sebesar Rp 30.000,- yang tentunya sudah dinaikkan dari tarif normal. Aktivitas hunting foto terpaksa juga harus berjejal dengan pengunjung lain yang ternyata suka sekali bergaya sambil memanjat stupa walaupun berulangkali dilarang petugas. Dan matahari pun mulai menunjukan daya sengatnya yang aduhai. Semangat mulai meredup, gawat... Tiba-tiba serombongan biksu datang untuk melakukan prosesi Waisak yang berlangsung tepat pukul 10.34.49. Mereka berdiri mengelilingi puncak stupa utama kemudian mendaraskan doa dan bermeditasi. Langsung semangat lagi, kamera keluar dari tas dan jepret sana sini. Setelah selesai masih menyempatkan diri melihat panggung utama yang akan digunakan untuk acara malam nanti. Sungguh panggung yang megah. Tonight it's gone be awesome!

arak-arakan hasil bumi
arak-arakan hasil bumi
mobil Api Dharma
mobil api dharma dan perempuan berpayung
tebar bunga
tebar bunga tebar damai dan berkat

Arak-arakan dari Candi Mendut menuju Borobudur
Kelapa muda utuh di warung pelataran candi dipilih sebagai menu untuk menyegarkan kembali badan dan semangat untuk lanjut meliput arak-arakan. Arak-arakan dijadwalkan dari jam 13.00-16.00 dan berlangsung sepanjang jalan yang menghubungkan candi Mendut dan candi Borobudur. Sisi kanan dan kiri jalan telah penuh oleh para warga yang menonton dan tidak ketinggalan juga para pedagang makanan dan minuman. Tak lama berselang arak-arakan pun tiba. Diawali dengan barisan bendera, dilanjutkan dengan barisan aneka baju daerah nusantara dan barisan yang membawa hasil bumi, disambung dengan mobil pembawa Api Dharma, tandu Air Suci dan tandu Kitab Suci. Tak ketinggalan mengikuti barisan biksu dan biksuni yang disambung dengan barisan umat. Di sini baru disadari bahwa ternyata para biksu yang datang tidak hanya dari Indonesia tetapi juga dari luar negeri. Ada satu yang cukup menarik perhatian yaitu biksu bertubuh besar dan botak tetapi berkulit hitam seperti orang Afrika. Sayangnya saya tidak punya kesempatan untuk menanyakan dari mana asalnya.

Langit mendung datang tiba-tiba dan langsung mengguyur bumi. Tidak begitu deras tapi cukup untuk membuyarkan penonton, sementara arak-arakan lanjut terus berjalan menuju Candi Borobudur. Sebagian peserta sudah membawa payung, sebagian lagi cuek aja membiarkan bajunya basah tersiram hujan. Walaupun belum puas hunting fotonya tetapi kesempatan ini membuat diri ini berpikir. Apakah dengan menenteng kamera berarti saya memiliki hak untuk mengambil semua foto yang saya mau? Walaupun itu mungkin saja mengorbankan kepentingan ataupun paling tidak kenyamanan orang di sekitar saya. Karena hal inilah yang saya saksikan selama Waisak kali ini. Mungkin bisa dideskripsikan sebagai berikut: Para fotografer (termasuk saya) bagaikan singa lapar mencari mangsa (baca:moment untuk difoto) di sekitar para umat Buddha yang sedang merayakan Waisak ini. Karena kami para fotografer ini harus saya akui begitu antusias untuk mendapatkan foto yang diyakini baik. Tidak ragu-ragu kami mendekati barisan, bahkan berjalan bersama arak-arakan sambil sesekali mengarahkan lensa ke dalam barisan. Entahlah apakah ini baik atau buruk. Mungkin lebih baik bila umat Buddha sajalah yang menanggapi supaya ada opini dari sisi lain.

rombongan biksuni
barisan biksuni




Borobudur temple @ night

cahaya di puncak stupa utama


Borobudur di Malam Waisak
Rintik hujan masih saja jatuh menghujam. Padahal jam telah menunjukan pukul 17.00. Satu jam sudah berlalu duduk ngantuk di beranda menunggu hujan reda. Akhirnya kami memutuskan untuk jalan berteduh payung mencari sekedar ganjalan perut sebagai sumber tenaga bagi malam panjang di depan. Hanya nasi goreng tersisa dari menu restoran sebelah candi sebagai ganjal, sang pemilik meminta pengertian karena mereka kehabisan bahan dan tidak sempat belanja, ok deh, kami terima daripada tidak ada sama sekali. Sepiring nasi goreng pun tandas dengan cepat walaupun rasanya cuma dapat poin 6. Kemudian kami pun bergegas menuju pintu 7 untuk masuk ke area candi karena hanya tinggal pintu ini sajalah yang masih dibuka. Lampu sekitar candi mulai dinyalakan ketika akhirnya kami sampai pada pintu di kaki candi. Menerangi sekelompok biksu yang sudah baris berdiri antri bersama dengan umat Buddha dan para simpatisan lain. Petugas mengarahkan untuk masuk melalui pintu lain dan kami pun nurut aja. Tak lama kemudian sampailah di area panggung utama. Lapangan rumput luas yang telah ditutupi karpet sejak siang tentu saja basah oleh bekas hujan. Kamipun bergabung dengan para fotografer di bagian belakang area. Dan acarapun dibuka.

Waisak 2556 BE @ Borobudur
Waisak di Borobudur
panggung utama Waisak
Buddha di panggung utama

Setelah beberapa sambutan termasuk dari Ketua Umum Walubi ibu Siti Hartati Murdaya, acara dilanjutkan dengan meditasi bersama dan pembacaan doa. Kemudian dilanjutkan dengan Pradaksina, yaitu ritual mengelilingi candi Borobudur sambil membawa lilin menyala. Sebelumnya saya menyempatkan diri untuk berjalan ke belakang panggung menuju candi Borobudur dengan maksud mencari spot foto untuk prosesi Pradaksina ini. Akan tetapi sepanjang sisi Borobudur ini telah penuh dijejali oleh orang dan sebagian besar adalah fotografer lengkap dengan berbagai persenjataannya. Mungkin sudah ada sekitar 1.000an orang yang telah membentuk barisan sepanjang sisi Borobudur. Tampaknya hampir mustahil bagi saya yang telat ini mendapatkan gambar bersih dimana para biksu berjalan dengan lilin di tangan dengan latar belakang candi Borobudur. Tapi berhubung kamera saya ini ada fasilitas Live View, jadi ada sebuah trick untuk dicoba yaitu dengan memotret dengan posisi kamera di atas kepala tanpa melihat viewfinder cukup lewat layar lcd saja. Setelah dapat spot yang cukup lumayan, kemudian dicobalah teknik ini sebelum prosesi berjalan. Setelah adjusting sana sini dengan pertimbangan cahaya yang minim dan subjek yang sedang bergerak akhirnya setting kamera ditetapkan. Gak lama berdiri menunggu akhirnya ritual Pradaksina dimulai. Ketika barisan pertama para biksu melewati area kami, kamera telah disiapkan di atas kepala dan yap, beberapa kali frame diambil. Kaget oleh kilatan flash yang bertubi-ubi menyambar padahal saya yakin 100% tidak menghidupkan lampu kilat. Ternyata para fotografer lain yang menyalakan lampu kilat. Beberapa biksu mengernyitkan dahi ketika lampu kilat menyambar. Lainnya ada yang menundukkan kepala ataupun tampak berusaha menghiraukan. Timbul sebersit kasihan. Mereka pasti terganggu tapi saya pun tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi sama memilih kembali ke depan panggung semoga dapat memberikan sedikit ruang dan kelegaan bagi para umat Buddha yang melakukan ritual Pradaksina ini.

ritual Pradaksina
berkeliling dengan doa dan lentera

Ditutup dengan Pelepasan 1.000 Lampion
Setelah ritual Pradaksina selesai kemudian dilanjutkan dengan pelepasan lampion. Menurut keterangan panitia ada sekitar 1.000an lampion yang akan dilepas. Sebetulnya kami bisa membeli lampion tersebut tetapi saat itu sudah tidak ada lagi lampion tersisa alias ludes. Gak apa-apalah asal bisa foto aja saya sudah senang kok. Pelepasan pertama dilakukan di panggung oleh para biksu. Terlihat begitu mudah dan cepat lampion-lampion itu mengangkasa mungkin karena dilakukan oleh ahlinya. Berbeda sekali dengan kelompok yang sedang difoto ini. Sudah 5 menit mereka mengerubungi lampion ini tapi masih belum juga terbang. Positifnya adalah lebih banyak foto yang bisa diambil hehehe. Di tengah hiruk pikuk ini tiba-tiba mata ini tertumbuk pada seorang biksu yang tengah menerbangkan lampion sendirian saja. Kontan langsung saya ajak rekan-rekan untuk membantu dan sang biksu pun dengan senang hati mempersilakan dan mengajari. Ternyata memang tidak susah walaupun tidak mudah juga untuk menerbangkan lampion ini. Trick-nya adalah menunggu sampai udara panas benar-benar terkumpul sehingga lampion langsung terbang membumbung dengan cepat ke angkasa. Dan hal ini diartikan bahwa doa-doa kita tersampaikan langsung kepada sang Pencipta, amin.

fly lantern fly
fly lantern fly
biksu dan lentera
sang biksu dan lentera

Bukan main pengalaman menyaksikan Waisak di Borobudur kali ini. Benar-benar tersadar bahwa Indonesia sungguh kaya dengan keragaman budaya. Walaupun agaknya para tukang foto (termasuk saya) terlihat sedikit berlebihan dalam mencari moment untuk diabadikan. Semoga ke depannya hal ini dapat dikelola dengan lebih baik. Biar saya bisa semakin bangga lagi menjadi warga negara Indonesia. Negara yang tidak cuma budayanya yang beragam dan alamnya yang kaya, tapi juga dengan penduduknya yang saling menghargai dan toleran dengan perbedaan.pis.

jeffman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar